06 May 2009

Perkembangan Pengusaha Muda di Indonesia

Mulai dari Lingkungan Keluarga

"Suatu bangsa akan maju bila memiliki jumlah entrepreneur (wirausahawan) minimal 2 persen dari total jumlah penduduk". Pernyataan itu diungkapkan Ir Ciputra pada malam penganugerahan penghargaan Ernst and Young Entrepreneur of the Year 2007 di Hotel Mulia, Jakarta, (28/11/07). Kala itu, Ciputra mencontohkan Singapura memiliki wirausahawan sekitar 7,2 persen, dan Amerika Serikat memiliki 2,14 persen entrepreneur. Bagaimana dengan Indonesia?


Dari 220 juta lebih penduduk, Indonesia hanya memiliki sekitar 400.000 pelaku usaha mandiri, atau sekitar 0,18 persen wirausahawan dari jumlah penduduknya. Hal ini tentu memrihatinkan. Padahal, menurut pendiri University of Ciputra Entrepeneurship Center (UCEC) ini, potensi Indonesia terbilang besar. Indonesia memiliki kekayaan alam melimpah siap diolah. Indonesia termasuk dalam ranking 10 besar penghasil tembaga, emas, natural gas, nikel, karet, dan batubara. Dan, masih banyak lagi keunggulan komparatif yang kita miliki. Karena itu, jika menyedikan stok enterpreneur yang cukup dan potensial, Indonesia bisa menjadi pemain internasional yang handal.

Peraih penghargaan Kewirausahaan Sosial (Social Entrepreneurship) Ernst and Young Entrepreneur tahun 2006 Bambang Ismawan mengatakan, wirausahawan muda di Indonesia mulai bangkit. Hal itu dapat dilihat dari minat dan pelaku wirausaha muda yang semakin bertumbuh. Namun dibandingkan jumlah penduduk, jumlah entrepreneur muda yang kita miliki memang masih sangat kurang.

"Lulusan perguruan tinggi lebih banyak yang ingin bekerja sebagai pegawai, sedangkan inisiatif untuk menciptakan lapangan kerja sendiri masih sangat kecil," ujarnya.

Rendahnya minat dan pertumbuhan wirausahawan muda, kata Bambang, terutama disebabkan oleh minimnya dorongan lingkungan keluarga sang anak. Orang tua lebih banyak mengharapkan anaknya bekerja sebagai pegawai negeri atau pegawai kantor. Pasalnya, pekerjaan seperti itu dinilai memiliki risiko kecil dibandingkan menjadi pengusaha. "Orang tua menginginkan anak mereka mendapatkan gaji tetap setiap bulan, daripada harus menunggu keuntungan yang memakan waktu lama," ujar Bambang.

Harapan orang tua ini didukung pula oleh lesunya sektor kewirausahaan dalam negeri. Sektor ini dinilai memiliki risiko tinggi, sementara itu kurang menjanjikan penghidupan yang layak. Karena itu, orang tua petani rela mengeluarkan biaya tinggi untuk menyekolahkan anaknya agar mereka tidak kembali kepada pertanian. Bambang mencontohkan, tamatan Institut Pertanian Bogor (IPB) lebih banyak menjadi wartawan atau pegawai, daripada menjadi petani.

Selain pengaruh lingkungan dalam keluarga, kata Bambang, rendahnya minat kaum muda terjun dalam bidang wirausaha, juga disebabkan oleh arah dan sistem pendidikan yang kurang mendukung. Pendidikan malah tampil sebagai alat untuk menumpulkan semangat berwirausaha. Metode menghafal, misalnya, membuat anak tidak memiliki daya kreasi dan inovasi, yang sangat dibutuhkan dalam dunia kewirausahaan. Karena itulah, Bambang mendesak agar pendidikan, terutama pendidikan tinggi segera dibenahi.

Desakan agar perguruan tinggi melakukan pembenahan - bahkan perubahan paradigma - juga disuarakan Ciputra. Menurutnya, salah satu penyebab rendahnya jumlah entrepreneur di Indonesia adalah sistem pendidikan yang hanya fokus pada penciptaan tenaga kerja, bukan menciptakan enterpreneur-enterpreneur potensial.

"Setiap tahun, lembaga-lembaga pendidikan menghasilkan pengangguran, karena mereka tidak didorong untuk menjadi pelaku wirausaha," ujarnya.

Menurut Ciputra, setiap tahun perguruan tinggi Indonesia melahirkan sekitar 750 lebih sarjana yang menganggur. Karena itu, tantangan perguruan tinggi di Indonesia ke depan, katanya, adalah melahirkan wirausahawan muda.

Menjawab tantangan itulah Ciputra mendirikan sekolah yang fokus pada upaya mengembangkan semangat kewirausahawan siswa, seperti Sekolah Ciputra, Sekolah Citra Kasih, Sekolah Citra Berkat, Sekolah Global Jaya, Sekolah Pembangunan Jaya. Terakhir, ia mendirikan University of Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC). Program yang disiapkan UCEC antara lain mempersiapkan modul pengayaan kewirausahaan untuk kurikulum nasional, mengembangkan kurikulum kewirausahaan di Universitas Ciputra, dan mengadakan pelatihan tiga bulan kepada masyarakat.

Selain dukungan keluarga dan perguruan tinggi, pertumbuhan wirausahawan muda juga membutuhkan peran dunia usaha dan lembaga dunia usaha. Bambang memberi contoh peran pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Organisasi ini seharusnya tidak hanya mendorong lahirnya pengusaha kaya dan bergerak dalam bidang usaha yang membutuhkan penyertaan modal tinggi, tapi juga harus mendorong munculnya pengusaha kecil yang bergerak dalam sektor kecil dan mikro (UMKM).

Potensi sektor UMKM, kata Bambang, sesungguhnya sangat menjanjikan. Dari seluruh entitas dunia usaha yang kita miliki, 95 persen (43 juta) merupakan usaha yang bergerak dalam sektor usaha mikro. Data ini, kata Bambang, memperlihatkan bahwa Indonesia potensial melahirkan wirausahawan yang bergerak dalam usaha mikro dan kecil.

Untuk itu, mental kewirausahaan mesti ditumbuhkan dan didorong terus, seperti kreatif, inovatif, dan berani mengambil risiko sebesar apa pun. Keluarga mesti menjadi lingkungan pertama yang menumbuhkan mental kewirausahaan anak. Dunia perguruan tinggi juga sudah saatnya diubah menjadi entrepreneur university. Swasta dan pemerintah harus mendukung terciptanya iklim kondusif bagi lahirnya wirausahawan muda. Jika iklim itu tersedia, maka wirausahawan muda berprestasi akan terus bertumbuh.Mungkin seperti cendawan di musim hujan.

Sumber:
http://jurnalnasional.com/?media=KR&cari=bambang%20ismawan&rbrk=&id=69462&detail=Beranda

No comments:

Post a Comment